Langsung ke konten utama

MASA KECIL YANG MENYENANGKAN

      Masa kecil saya dahulu saya habiskan di desa Malasan Kecamatan Durenan kab Trenggalek.  Sebuah desa di perbatasan Trenggalek-Tulungagung.  Desa saya sangat subur.  Sawah-sawah menghijau ditumbuhi padi.  Depan rumah saya terhampar sawah yang cukup luas.  Mungkin sekitar 70% dari desaku terdiri atas sawah.
     Sekitar 1 km ke arah timur adalah perbatasan dengan Tulungagung.  Daerahnya berupa rawa-rawa.  Yang sepanjang tahun tidak pernah surut airnya. Ditumbuhi oleh rumput yang tingginya lebih dari 2 meter. Yang sering digunakan oleh warga sekitar sebagai bahan membuat tikar.  Rumput tersebut disebut dengan Lingi.  Ada juga yang menyebut Wlingi.  Apakah ini ada hubungannya dengan nama daerah Wlingi di Blitar, saya tidak tahu.
Gambar Rumput Lingi

     Bagi penduduk desa di sekitarnya, rawa merupakan harta karun.  Pada waktu musim kemarau, airnya mendangkal. Orang-orang desa memancing di rawa-rawa tersebut. Selain berbagai jenis ikan, rawa ini juga menyimpan berbagai jenis burung pemakan ikan.  Burung trsebut membuat sarang di gerumbulan rumput lingi. Pada musim kemarau, seringkali saya dan teman-teman ke rawa untuk mencari ikan dan sarang burung. Berbagai jenis ikan air tawar pernah saya rasakan dari rawa tersebut.  Dari ikan lele, gabus, sepat, bethik maupun wader dan belut.  Beberapa jenis ikan tidak pernah saya temui lagi saat ini.  Seperti ikan Sili yang mirip dengan belut. 
Lingi kering yang siap dianyam jadi kerajinan tikar atau lainnya.
     Bila hujan pertama di awal musim turun, dan air mengaliri sungai yang kering. Ikan-ikan akan bergerak melawan arus air. Orang desa menamakan dengan istilah "mudik". Mirip dengan gerakan pulang ke desa waktu lebaran.   Saat itulah seperti panen ikan.  Orang-orang desa membuat jebakan ikan yang terbuat dari jaring.  Berbentuk segi empat. Dibentangkan dengan bambu yang dilengkungkan dan tali. Alat ini dibenamkan dalam aliran sungai, dan secara berkala diangkat.  Ikan terjebak di dalamnya, diserok pakai serokan dari kantong plastik yang dikasih tangkai.  Orang desa menyebut alat penangkap ikan ini dengan sebutan "jebag".  Biasanya menjelang subuh, setelah turun hujan, ikan akan keluar. Ayah saya seringkali berangkat jam 1 dini hari untuk menangkap ikan ini.
Gambar alat jebag. 

     Pada musim padi, biasanya menjelang panen diserang oleh hama burung pipit. Karna itu kami harus menjaganya. Selain dengan membuat orang-orangan sawah dengan berbagai bunyi-bunyiannya, kami juga menjaga sawah secara langsung.  Istilahnya "Nunggu Pari" atau menunggui padi.  Biasanya kami lakukan sepulang sekolah sekitar jam 2 siang sampai menjelang maghrib.  Senjata yang dipakai selama tugas ini adalah bambu sebesar ibu jari sepanjang sekitar setengah meter sampai 1 meter. Bagian pangkalnya lebih besar dibanding ujungnya. Gunanya untuk mengusir burung.  Cara menggunankannya dengan memberi sebutir tanah lempung di ujungnya, lalu diayunkan. Sehingga tanah lempung terlempar ke arah burung yang dibidik.  Alat ini dinamakan "Plencung"
     Kadangkala kenakalan masa kecil saya timbul juga.  Dengan alat ini saya bukannya menunggu padi tapi malah main perang-perangan sama teman sebaya yang juga sedang nungguin padi. Perang dengan amunisi tanah lempung ini sangat digemari. Seringkali bila ketahuan para orang tua, kami dimarahi. Karena disamping tidak menjalankan tugas nunggu padi, peluru plencung ini dapat merusak padi bila sering digunakan.  Peluru tanah lempung akan merontokkan bulir padi.
     Setelah agak besar, ada lagi kegiatan yang lebih menyenangkan saat menunggu padi. Yaitu memancing burung.  Saat itu masih banyak burung pemakan ikan yang berkeliaran di sawah. Caranya sangat gampang. Berbekal mata kail yang biasa digunakan untuk memancing, tali senar, dan bilah bambu. Mata kail diikat dengan tali senar. Ujung tali senar yang satunya ditalikan ke bilah bambu. Kemudian dipasang umpan berupa anak katak (precil). Lalu bilah bambu ditusukkan/tanamkan ke tanah di bawah tanaman padi. Kemudian ditinggal pergi.  Siang hari pada waktu berangkat, pancing dipasang. Dan sore hari menjelang pulang pancing diangkat.  Biasanya satu orang membawa 5-10 pancing yang disebar di sawah masing-masing. Kalau rejeki lagi bagus, biasanya 2-4 ekor burung pemakan ikan bisa didapat.  Kalau lagi apes, ya tidak membawa apa-apa. Tapi seringnya, 1 burung masih didapat.
     Menjelang musim kemarau, saat air mulai surut, tapi tanah masih gembur/lunak, kegiatan yang menyenangkan adalah memancing belut.  Alatnya masih sama, yaitu pancing dan senar.  Berbeda dengan memancing ikan, pancing belut harus diikat dengan tali senar yang kuat. Biasanya saya merangkapi tali senar untuk mancing ikan 3-4, kemudian dipeluntir sehingga menjadi satu kesatuan yang kuat.  Si ujung senar diberi kayu atau bambu sekitar 10 cm untuk pegangan.  Ini penting sekali karena tarikan belut sangat kuat.  
     Cara memancing belut juga lain. Kita harus mencari lubang rumah belut di tepi sungai yang mulai mengering atau ditepi sawah.  Untu bisa membedakan dengan sarang lainnya, butuh pengalaman.  Karena disamping lubang sarang belut, juga ada lubang sarang kepiting dan ular.  Untuk lubang sarang kepiting biasanya ditandai dengan gundukan tanah disekitar mulut lubang. Sedangkan lubang sarang ular dan sarang belut hampir sama.  Kadang saya juga masih sering keliru.  
     Bila lubang sarang belut sudah ditemui, pancing yang sudah diberi umpan anak katak (precil) dimasukkan perlahan-lahan. Sambil diputar-putar dengan tali senarnya, kita harus sabar menunggu reaksi si belut. Bila sudah terasa ada tarikan, berarti umpan sudah dimakan. Pertama, kita biarkan saja. Lalu setelah beberapa saat, kita tarik perlahan-lahan.  Harus perlahan-lahan karena kalau tidak, bisa memutuskan senarnya.  Tarikan belut sangat kuat sekali.  Seringkali saya kehilangan pancing, karena senar putus. Agar senar tidak putus butuh pengalaman. 
     Selain pada musim menjelang kemarau, belut juga bisa dicari saat menjelang musim tanam.  Setelah tanah sawah dicangkul, belut mudah didapat.  Kali ini alatnya adalah lampu, timba dan sabit. Karena alatnya banyak dan berat maka biasa dilakukan 2 orang atau lebih.  Menangkapnya waktu malam hari.  Saya biasa menggunakan lampu petromak. Pernah juga menggunakan lampu dari bahan karbit yng dilengkapi dengan reflektor bekas lampu mobil. Malam di atas jam 9 malam, pencarian dimulai. Bila ketemu belut yang sedang cari makan, langsung dipukul dengan punggung sabit, agar tidak lari. Lalu dimasukkan timba.  Bila sedang banyak, kadang saya mendapatkan setengah timba.
     Sekarang, 30 tahun setelahnya. Masih sering saya temui orang yang menunggu padi menjelang panen. Tapi sekarang, tidak ada lagi jebag. Sungai sudah tidak ada ikannya. Rawa lumbung ikan jaman dahulu telah berubah jadi sawah, karena suksesnya pembuatan terowongan Neyama di laut selatan.  Tidak ada lagi acara memancing belut, tidak ada memancing ikan. Tidak ada memancing burung. Semua hewan-hewan itu seakan musnah, punah. Maka sekarang jarang sekali makan ikan air tawar. Kecuali hasil budidaya kolam.
     Acara cari belut di malam hari juga tidak ada lagi.  Semenjak orang menggunakan buldoser untuk membajak sawah, belut-belut pada musnah.  Mungkin karena kena mesinnya yang berputar kenceng. Mungkin faktor lainnya. Anak-anak sekarang lebih suka main PS, main HP, main internet. Anak-anak saya tidak ada lagi yang tahu plencung, pancing, belut. Mengingat itu semua, terasa rindu untuk kembali ke masa lalu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kotak Sekring dalam Kabin

Meskipun letaknya di dalam kabin, tutup kotak sekring Ford Laser eks taksi yang berada di samping pintu pengemudi ternyata tidak sepenuhnya “aman”, alias bisa saja hilang. Mungkin karena memang sudah tidak ada saat meminangnya dulu atau memang terlupa memasangnya kembali sehingga kemudian hilang. Padahal tutup kotak tersebut relatif penting. Pasalnya, di atas tutup tersebut terdapat petunjuk yang berisikan informasi besaran amper dan kegunaan fungsi sekring tersebut. Sehingga memudahkan kita saat mengganti salah satu sekring yang putus dengan besaran amper yang sesuai. Tanpa berpanjang lebar lagi, di bawah ini adalah gambar pada tutup kotak sekring yang berada dalam kabin Ford Laser eks taksi. Semoga penayangan artikel ini dapat memenuhi permintaan pembaca yang masuk ke redaksi www.fordlaserbogor.blogspot.com . Semoga bermanfaat. (FLB) 2 komentar

BAJAK DAN FILOSOFINYA

Beberapa hari yang lalu saya pulang ke desa. Ada nuansa berbeda yang bikin saya bernostalgia. Waktu itu awal musim tanam padi. Para petani hiruk pikuk mengolah tanahnya. Suara deru traktor tangan terdengar bahkan sampai malam hari. Di sela- sela hilir mudik traktor tangan, saya melihat satu hal yang langka. Seorang petani berseru mengendalikan 2 ekor sapi yang sedang menarik bajak. Pemandangan yang langka. Yang mulai hilang ketika saya menginjak SMP. Tahun 90an. Dimana jasa bajak tradisional ini digantikan dengan traktor tangan. Gambar : orang sedang membajak sawah. Di balik alat bajak yang ditarik dengan 2 ekor sapi atau kerbau ini, tersimpan ajaran filosofi yang tinggi.Sunan Kalijaga adalah orang yang menyebarkan filosofi ini. Ini pernah saya dengar dari embah saya dulu. Adapun beberapa filosofi bajak yang masih saya ingat adalah sebagai berikut : 1.  LUKU. Dalam bahasa Jawa, bajak disebut dengan LUKU. Berawal dari kata LAKU atau MLAKU.   Artinya, orang membaja

GANTI SHOCK ABSORBER

Setelah setahun lebih si Ghia mengabdi, mulailah terasa ada gangguan di kaki-kaki. Skok terasa mati. Kalo melewati jalan tidak rata, terdengar gluduk-gluduk cukup keras. Semakin lama semakin keras. Saya cek kondisi shock, ternyata semua (kiri dan kanan) sudah basah dengan oli. Mungkin selain faktor umur,  ini disebabkan si Ghia seringkali digunakan untuk memuat barang hingga overload. Sebagai gambaran, kalau musin jeruk, sering digunakan untuk mengangkut jeruk. Pernah saat mudik, bagasi dipenuhi dengan jeruk Bali. Ditambah dengan 3 orang dewasa, 1 remaja dan 1 anak-anak. Terasa sekali posisi si Ghia sampai mendongak. Kejadian ini juga dialami saat musim mangga. Setelah mencari informasi kanan kiri, maka diputuskan untuk ganti shock absorber. Pilihannya adalah harga termurah. Merk Shibaruni. Harga Rp. 450ribu sepasang. Sekalian juga belanja boot shock, dan karet tatakan spiral. Untuk penggantian diputuskan untuk dikerjakan sendiri. Dengan modal nekat hasil googling. Hari Minggu