Beberapa waktu yang lalu saya membaca artikel di sebuah blog. Tentang seorang Gubernur yang dibilang sebagai orang ndeso dan berpikiran kota. Sebelumnya banyak juga orang yang menggunakan kata-kata "ndeso".
Menurut bahasa Jawa, "ndeso" berasal dari kata "desa" (dibaca = deso). Artinya adalah suatu tempat atau daerah yang terletak jauh dari kota. Kalo dalam struktur pemerintahan, desa adalah pemerintahan paling bawah yang dikepalai oleh seorang kepala desa.
Kata "ndeso" digunakan untuk menggambarkan seorang yang berasal dari desa. Kurang pengalaman, kurang wawasan, sehingga kalau diajak keluar dari lingkungannya akan menjadi terheran-heran. Nggumunan. Sebenarnya ini tidak salah. Walau tidak sepenuhnya benar.
Namun akhir-akhir ini kata-kata "ndeso" digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak baik. Kalau ada orang yang suka berkelahi, dibilang ndeso. Kalo suka bikin rusuh, dibilang ndeso. Miskin, dibilang sebagai rejeki ndeso. Bodoh berarti ndeso. Beberapa orang menggunakan bahasa "ndeso" dengan istilah "kampungan".
Sedangkan kata-kata "kota" (kutho/kutha), digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang baik. Rejeki banyak dibilang Tukul sebagai rejeki kutho. Pinter berarti kutho.
Bahkan gubernur Jokowi yang fenomenal disebut oleh seseorang sebaga gubernur ndeso yang berpikiran kutho. Mungkin maksudnya adalah orang yang berasal dari lingkungan yang jelek, tapi berpikiran bagus.
Padahal, kalau dipikir-pikir kehidupan di desa tidak selalu lebih buruk dibanding di kota. Bahkan dalam beberapa hal, kehidupan di desa lebih baik.
Kalau kita pergi dan bertamu di desa, maka kita tidak usah khawatir akan kelaparan. Hampir bisa dipastikan, kalau waktunya makan siang, akan disuguhi dengan nasi berta lauk pauknya. Tentu dengan ukuran desa. Hal yang sulit ditemui di kota.
Kalau kita mencari alamat di desa, maka kalau memang alamat itu ada, pasti akan ketemu. Orang akan dengan sukarela menunjukkan. Bahkan mengantarkan kita. Bandingkan dengan di kota.
Kalau kita di desa mengalami kesusahan, ada keluarga yang meninggal, maka orang dengan sukarela akan bersama-sama membantu. Di kota, segala sesuatunya harus membayar. Bahkan untuk memakamkan jenazah.
Kalau ada tawuran antar kelompok, itu sering kali terjadi di kota.
Dengan melihat perbandingan itu, maka penggunaan kata "ndeso" untuk menunjukkan sesuatu yang jelek kayaknya harus ditinjau. Mungkin kita perlu menggunakan kosa kata lain. Kalau ada orang tawuran, sebut saja "dasar kutho", tidak lagi "ndeso".
Menurut bahasa Jawa, "ndeso" berasal dari kata "desa" (dibaca = deso). Artinya adalah suatu tempat atau daerah yang terletak jauh dari kota. Kalo dalam struktur pemerintahan, desa adalah pemerintahan paling bawah yang dikepalai oleh seorang kepala desa.
Kata "ndeso" digunakan untuk menggambarkan seorang yang berasal dari desa. Kurang pengalaman, kurang wawasan, sehingga kalau diajak keluar dari lingkungannya akan menjadi terheran-heran. Nggumunan. Sebenarnya ini tidak salah. Walau tidak sepenuhnya benar.
Namun akhir-akhir ini kata-kata "ndeso" digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak baik. Kalau ada orang yang suka berkelahi, dibilang ndeso. Kalo suka bikin rusuh, dibilang ndeso. Miskin, dibilang sebagai rejeki ndeso. Bodoh berarti ndeso. Beberapa orang menggunakan bahasa "ndeso" dengan istilah "kampungan".
Sedangkan kata-kata "kota" (kutho/kutha), digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang baik. Rejeki banyak dibilang Tukul sebagai rejeki kutho. Pinter berarti kutho.
Bahkan gubernur Jokowi yang fenomenal disebut oleh seseorang sebaga gubernur ndeso yang berpikiran kutho. Mungkin maksudnya adalah orang yang berasal dari lingkungan yang jelek, tapi berpikiran bagus.
Padahal, kalau dipikir-pikir kehidupan di desa tidak selalu lebih buruk dibanding di kota. Bahkan dalam beberapa hal, kehidupan di desa lebih baik.
Kalau kita pergi dan bertamu di desa, maka kita tidak usah khawatir akan kelaparan. Hampir bisa dipastikan, kalau waktunya makan siang, akan disuguhi dengan nasi berta lauk pauknya. Tentu dengan ukuran desa. Hal yang sulit ditemui di kota.
Kalau kita mencari alamat di desa, maka kalau memang alamat itu ada, pasti akan ketemu. Orang akan dengan sukarela menunjukkan. Bahkan mengantarkan kita. Bandingkan dengan di kota.
Kalau kita di desa mengalami kesusahan, ada keluarga yang meninggal, maka orang dengan sukarela akan bersama-sama membantu. Di kota, segala sesuatunya harus membayar. Bahkan untuk memakamkan jenazah.
Kalau ada tawuran antar kelompok, itu sering kali terjadi di kota.
Dengan melihat perbandingan itu, maka penggunaan kata "ndeso" untuk menunjukkan sesuatu yang jelek kayaknya harus ditinjau. Mungkin kita perlu menggunakan kosa kata lain. Kalau ada orang tawuran, sebut saja "dasar kutho", tidak lagi "ndeso".
Komentar
Posting Komentar