Dahulu kala ada seorang raja. Namanya adalah Aji Saka. Dia sakti mandra guna. Dia mempunyai 2 orang abdi bernama Dora dan Sembada.
Suatu hari, Aji Saka mau bepergian. Dia mengajak salah satu abdinya bernama Dora. Dan meninggalkan sebuah pusaka berupa Udheng (ikat kepala) kepada Sembada. Dia berpesan kepada Sembada, bahwasannya pusaka itu tidak boleh diambil oleh siapapun kecuali Aji Saka sendiri.
Dalam pengembaraannya, Aji Saka berjumpa dengan raksasa yang suka memakan daging manusia bernama Dewatacengkar. Untuk membunuh raksasa itu, Ajisaka membutuhkan pusakanya. Maka disuruhlah Dora untuk mengambil pusaka tersebut.
Berangkatlah Dora menemui Sembada temannya, untuk mengambil pusaka Ajisaka. Namun Sembada tidak memberikan pusaka yang diminta oleh Dora. Karena dia memegang pesan Ajisaka, bahwa pusaka tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali kepada Ajisaka sendiri.
Karena sama-sama merasa diberi wewenang oleh Ajisaka, kedua orang ini akhirnya berkelahi. Karena sama-sama saktinya, akhirnya keduanya mati sampyuh (mati bersama-sama).
Ajisaka yang lama menunggu kedatangan Dora, akhirnya pergi menyusulnya. Dan dia menemukan kedua abdinya mati sampyuh. Dia menyesal. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya itu, maka dia mengarang aksara Jawa yang berbunyi :
Artinya :
Hana caraka.
Hana = ana, ada. Caraka = utusan. Jadi : Ada utusan.
Da ta sawala.
Da ta = datan, tidak. Sawala = suwala, membantah. Jadi : tidak pernah membantah, selalu memegang teguh perintah.
Padha jayanya.
Padha = sama-sama. Jaya = sakti, menang. Jadi : Sama-sama saktinya.
Ma ga bathanga
Ma ga = mangka, maka. Bathang = mayat, bangkai. Jadi : maka jadilah mayat semua.
Singkat cerita, dengan pusakanya yang berbentuk udheng, Dewatacengkar akhirnya terbunuh. Caranya adalah Dewatacengkar memegang ujung udheng itu. Udheng akhirnya molor, semakin panjang, sampai laut selatan. Dan Dewatacengkar akhirnya diceburkan ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih.
Jaman masih kecil dulu penulis sering didongengi oleh Ibu. Salah satu dongeng yang penulis sukai adalah cerita Aji Saka. Dalam dongeng itu, saat itu penulis sangat kagum kepada tokoh Aji Saka.
Cerita singkatnya Ajisaka adalah leluhur orang Jawa yang memperkenalkan huruf atau tulisan Jawa.
Orang Jawa sudah terkenal sekali dalam membuat pengandaian atau sanepa. Berbagai asal usul tempat diceritakan dalam bentuk legenda. Beberapa kejadian di kerajaan diceritakan dalam bentuk legenda.
Maka lahirlah legenda Jaka Tingkir, Gunung Tangkuban Perahu dan sebagainya.
Menurut penulis, Ajisaka ini juga sebuah legenda. Yang di balik ceritanya mengandung makna yang sama sekali lain dari kelihatannya.
Maka penulis berusaha mengupas cerita legenda ini.
Ajisaka adalah seorang yang sangat peduli dengan tulis menulis. Dalam hal ini dilambangkan sebagai pencipta huruf/aksara. Jawa. Tulisan/huruf adalah sumber pengetahuan. Artinya, Ajisaka adalah raja yang sangat konsen dengan ilmu atau pendidikan rakyatnya.
Disebutkan bahwa Ajisaka punya dua abdi. Yaitu Dora dan Sembada. Dora dalam bahasa Jawa berarti bohong. Sembada dalam bahasa Jawa artinya pandai. Itu merupakan perlambang wujud dari sifat baik dan sifat buruk dalam diri manusia. Dora adalah sifat buruk. Seperti malas, bohong. Sembada adalah sifat baik seperti rajin, pintar. Kedua sifat itu selalu bertarung, dalam upaya manusia untuk menuntut ilmu. Kadang sifat baik yang menang, kadang sifat buruk yang menang. Yang akan terus bertarung sampai manusia menjadi mayat.
Pusaka Ajisaka adalah Udheng/ikat kepala. Udheng berasal dari kata mudheng. Mudheng dalam bahasa Jawa berarti mengerti, paham.
Udheng ini bisa mulur/berubah manjadi panjang sekali. Maknanya, bila kita sudah memahami suatu ilmu, maka nalar kita akan panjang. Artinya kita akan berakal panjang. Berakal banyak. Dengan pemahaman yang baik (mudheng) itu manusia akan mempunyai akal/nalar panjang yang bisa menyelesaikan hambatan/halangan. Yang dalam hal ini dilambangkan dengan raksasa Dewatacengkar. Dewatacengkar adalah raksasa yang memakan daging manusia. Merupakan perlambang kebodohan. Kebodohan akan menjerumuskan manusia dalam celaka.
Jadi dengan aksara/huruf, manusia dapat belajar atau meraih ilmu. Sehingga bisa memahami dengan mendalam (mudheng, pusaka udheng). Dalam usaha meraih ilmu itu dalam diri manusia akan selalu bertarung sifat baik dan sifat buruk, yang tidak berhenti sampai manusia mati (bathang). Pemahaman yang baik dapat menyelamatkan manusia dari kebodohan (Dewatacengkar).
Itulah othak athik mathuk dari penulis. Mudah-mudahan membawa manfaat.
Bagaimana pendapat anda???
Suatu hari, Aji Saka mau bepergian. Dia mengajak salah satu abdinya bernama Dora. Dan meninggalkan sebuah pusaka berupa Udheng (ikat kepala) kepada Sembada. Dia berpesan kepada Sembada, bahwasannya pusaka itu tidak boleh diambil oleh siapapun kecuali Aji Saka sendiri.
Dalam pengembaraannya, Aji Saka berjumpa dengan raksasa yang suka memakan daging manusia bernama Dewatacengkar. Untuk membunuh raksasa itu, Ajisaka membutuhkan pusakanya. Maka disuruhlah Dora untuk mengambil pusaka tersebut.
Berangkatlah Dora menemui Sembada temannya, untuk mengambil pusaka Ajisaka. Namun Sembada tidak memberikan pusaka yang diminta oleh Dora. Karena dia memegang pesan Ajisaka, bahwa pusaka tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali kepada Ajisaka sendiri.
Karena sama-sama merasa diberi wewenang oleh Ajisaka, kedua orang ini akhirnya berkelahi. Karena sama-sama saktinya, akhirnya keduanya mati sampyuh (mati bersama-sama).
Ajisaka yang lama menunggu kedatangan Dora, akhirnya pergi menyusulnya. Dan dia menemukan kedua abdinya mati sampyuh. Dia menyesal. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya itu, maka dia mengarang aksara Jawa yang berbunyi :
HA NA CA RA KA
DA TA SA WA LA
PA DHA JA YA NYA
MA GA BA THA NGA
Artinya :
Hana caraka.
Hana = ana, ada. Caraka = utusan. Jadi : Ada utusan.
Da ta sawala.
Da ta = datan, tidak. Sawala = suwala, membantah. Jadi : tidak pernah membantah, selalu memegang teguh perintah.
Padha jayanya.
Padha = sama-sama. Jaya = sakti, menang. Jadi : Sama-sama saktinya.
Ma ga bathanga
Ma ga = mangka, maka. Bathang = mayat, bangkai. Jadi : maka jadilah mayat semua.
Singkat cerita, dengan pusakanya yang berbentuk udheng, Dewatacengkar akhirnya terbunuh. Caranya adalah Dewatacengkar memegang ujung udheng itu. Udheng akhirnya molor, semakin panjang, sampai laut selatan. Dan Dewatacengkar akhirnya diceburkan ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih.
Jaman masih kecil dulu penulis sering didongengi oleh Ibu. Salah satu dongeng yang penulis sukai adalah cerita Aji Saka. Dalam dongeng itu, saat itu penulis sangat kagum kepada tokoh Aji Saka.
Cerita singkatnya Ajisaka adalah leluhur orang Jawa yang memperkenalkan huruf atau tulisan Jawa.
Orang Jawa sudah terkenal sekali dalam membuat pengandaian atau sanepa. Berbagai asal usul tempat diceritakan dalam bentuk legenda. Beberapa kejadian di kerajaan diceritakan dalam bentuk legenda.
Maka lahirlah legenda Jaka Tingkir, Gunung Tangkuban Perahu dan sebagainya.
Menurut penulis, Ajisaka ini juga sebuah legenda. Yang di balik ceritanya mengandung makna yang sama sekali lain dari kelihatannya.
Maka penulis berusaha mengupas cerita legenda ini.
Ajisaka adalah seorang yang sangat peduli dengan tulis menulis. Dalam hal ini dilambangkan sebagai pencipta huruf/aksara. Jawa. Tulisan/huruf adalah sumber pengetahuan. Artinya, Ajisaka adalah raja yang sangat konsen dengan ilmu atau pendidikan rakyatnya.
Disebutkan bahwa Ajisaka punya dua abdi. Yaitu Dora dan Sembada. Dora dalam bahasa Jawa berarti bohong. Sembada dalam bahasa Jawa artinya pandai. Itu merupakan perlambang wujud dari sifat baik dan sifat buruk dalam diri manusia. Dora adalah sifat buruk. Seperti malas, bohong. Sembada adalah sifat baik seperti rajin, pintar. Kedua sifat itu selalu bertarung, dalam upaya manusia untuk menuntut ilmu. Kadang sifat baik yang menang, kadang sifat buruk yang menang. Yang akan terus bertarung sampai manusia menjadi mayat.
Pusaka Ajisaka adalah Udheng/ikat kepala. Udheng berasal dari kata mudheng. Mudheng dalam bahasa Jawa berarti mengerti, paham.
Udheng ini bisa mulur/berubah manjadi panjang sekali. Maknanya, bila kita sudah memahami suatu ilmu, maka nalar kita akan panjang. Artinya kita akan berakal panjang. Berakal banyak. Dengan pemahaman yang baik (mudheng) itu manusia akan mempunyai akal/nalar panjang yang bisa menyelesaikan hambatan/halangan. Yang dalam hal ini dilambangkan dengan raksasa Dewatacengkar. Dewatacengkar adalah raksasa yang memakan daging manusia. Merupakan perlambang kebodohan. Kebodohan akan menjerumuskan manusia dalam celaka.
Jadi dengan aksara/huruf, manusia dapat belajar atau meraih ilmu. Sehingga bisa memahami dengan mendalam (mudheng, pusaka udheng). Dalam usaha meraih ilmu itu dalam diri manusia akan selalu bertarung sifat baik dan sifat buruk, yang tidak berhenti sampai manusia mati (bathang). Pemahaman yang baik dapat menyelamatkan manusia dari kebodohan (Dewatacengkar).
Itulah othak athik mathuk dari penulis. Mudah-mudahan membawa manfaat.
Bagaimana pendapat anda???
Komentar
Posting Komentar