Beberapa waktu yang lalu saya membawa mobil box L-300. Kosongan, tidak ada muatan. Melintas di lingkar timur Sidoarjo. Di tengah perjalanan, mobil dihentikan oleh beberapa orang polisi. Mereka mengadakan razia khusus mobil muatan.
Singkat cerita, saya disuruh turun. Diminta membuka box yang kosong. Periksa kabin dan surat-surat (SIM dan STNK). Sayapun memberikan SIM dan STNK saya. Setelah memeriksa SIM dan STNK, saya di ajak minggir. Ke arah motor pak polisi yang sedang diparkir.
Saya ikuti saja. Di situ pak polisi mengeluarkan buku. Saya mau ditilang. Saya tanya, apa kesalahan saya. Menurut pak polisi itu, saya mengendarai mobil dengan SIM yang tidak sesuai. Maka sayapun minta dijelaskan alasannya. Sehingga terjadilah dialog panjang.
S : Apa kesalahan saya pak?
P : Bapak mengendarai kendaraan dengan SIM yang tidak sesuai.
S : Yang mana yang tidak sesuai?
P : SIM bapak SIM A. Hanya boleh digunakan untuk kendaraan di bawah 2000 CC. L-300 CC-nya 2500 CC (katanya sambil menunjukkan STNK).
S : Maaf pak. Bukannya aturan penggunaan SIM berdasar tonase. Setahu saya SIM A itu untuk kendaraan di bawah 3.5 ton.
P : Aturan darimana itu? Sejak dulu aturannya begitu.
S : Saya dulu ikut Pralantas pak (ini bener bohong). Jadi saya paham aturan SIM. Kalo nggak salah ingat sih.
P : Kamu jangan ngotot. Tak tunjukkan bukunya baru tahu nanti. (agak emosi).
S : Oh ya... saya mau lihat bukunya pak (ikut emosi). Kalo berdasar CC, itu mobil Mercy pasti sopirnya kena tilang. (kebetulan di seberang jalan ada mobil Mercy baru berhenti. Seorang warga keturunan turun). Itu mobil 3000 CC pak. Saya berani taruhan orang itu SIM-nya A.
P : (panggil temannya P2)
P2 : ada apa pak?
S : saya nggak mau ditilang karena SIM. Saya mau lihat UU-nya.
P2 : ya sudah. Karena ini bulan puasa, bapak bisa melanjutkan perjalanan. Tapi lain kali kalau ketemu lagi pasti kena tilang.
S : Ya sudah, terima kasih (sambil dongkol).
Kenapa saya ngotot?
Memang aturannya begitu. Pak Polisi ini mungkin menganggap semua orang tidak tahu peraturan. Mungkin dia sendiri nggak paham aturan Atau sengaja mengintimidasi dengan asumsi saya tidak paham aturan. Tentu mempunyai tujuan tertentu.
Kalau kita lihat aturannya, penggunaan SIM di atur di UU no 22 tahun 2009, yaitu : UNDANG-UNDANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN. Pada pasal 80.
Jelas disebutkan :
Sayangnya, sebagian besar sopir atau orang yang biasa pegang mobil, pengetahuannya seperti yang dikatakan pak polisi itu. Bahkan ada yang bilang, kalau SIM A tidak boleh digunakan mengendarai mobil bermesin diesel. Nggak tahu dapat darimana itu. Mungkin dulu SIM-nya dapat dari beli kali....heheheh.
Selain masalah SIM, oknum polisi biasa menjebak masyarakat dengan menilang kendaraan yang STNK-nya terlambat bayar. Masa berlaku STNK adalah 5 tahun. Tiap tahunnya dilakukan pembayaran pajak. Kalau masa terlambat membayar pajak tahunan, polisi seringkali menggunakan alasan untuk menilang. Padahal sebenarnya tidak boleh.
Saya sendiri pernah ngalami. Waktu bawa motor, di daerah Krembung. Dicegat oleh serombongan polisi yang sedang mengadakan razia kendaraan roda 2. Begitu tahu kalau STNK telat bayar pajak tahunan, saya diajak menuju ke meja tilang. Saya nggak mau. Alasan saya, kalau saya telat bayar pajak, saya sudah didenda oleh Dispenda. Jadi nggak boleh diberi sanksi lagi. Nggak ada sanksi ganda untuk satu pelanggaran. Si polisi yang masih muda juga ngotot mau ngajak saya ke meja.
Akhirnya rame-rame ini didekati oleh polisi yang lebih senior. Begitu melihat STNK, tidak banyak bicara langsung kasih ke saya dan beri isyarat untuk terus.
Lebih jelasnya mengenai aturan ini, saya kutip penjelasan polisi dari Dirlantas Polda Metro Jaya.
Mudah-mudahan bermanfaat.....
Singkat cerita, saya disuruh turun. Diminta membuka box yang kosong. Periksa kabin dan surat-surat (SIM dan STNK). Sayapun memberikan SIM dan STNK saya. Setelah memeriksa SIM dan STNK, saya di ajak minggir. Ke arah motor pak polisi yang sedang diparkir.
Saya ikuti saja. Di situ pak polisi mengeluarkan buku. Saya mau ditilang. Saya tanya, apa kesalahan saya. Menurut pak polisi itu, saya mengendarai mobil dengan SIM yang tidak sesuai. Maka sayapun minta dijelaskan alasannya. Sehingga terjadilah dialog panjang.
S : Apa kesalahan saya pak?
P : Bapak mengendarai kendaraan dengan SIM yang tidak sesuai.
S : Yang mana yang tidak sesuai?
P : SIM bapak SIM A. Hanya boleh digunakan untuk kendaraan di bawah 2000 CC. L-300 CC-nya 2500 CC (katanya sambil menunjukkan STNK).
S : Maaf pak. Bukannya aturan penggunaan SIM berdasar tonase. Setahu saya SIM A itu untuk kendaraan di bawah 3.5 ton.
P : Aturan darimana itu? Sejak dulu aturannya begitu.
S : Saya dulu ikut Pralantas pak (ini bener bohong). Jadi saya paham aturan SIM. Kalo nggak salah ingat sih.
P : Kamu jangan ngotot. Tak tunjukkan bukunya baru tahu nanti. (agak emosi).
S : Oh ya... saya mau lihat bukunya pak (ikut emosi). Kalo berdasar CC, itu mobil Mercy pasti sopirnya kena tilang. (kebetulan di seberang jalan ada mobil Mercy baru berhenti. Seorang warga keturunan turun). Itu mobil 3000 CC pak. Saya berani taruhan orang itu SIM-nya A.
P : (panggil temannya P2)
P2 : ada apa pak?
S : saya nggak mau ditilang karena SIM. Saya mau lihat UU-nya.
P2 : ya sudah. Karena ini bulan puasa, bapak bisa melanjutkan perjalanan. Tapi lain kali kalau ketemu lagi pasti kena tilang.
S : Ya sudah, terima kasih (sambil dongkol).
Kenapa saya ngotot?
Memang aturannya begitu. Pak Polisi ini mungkin menganggap semua orang tidak tahu peraturan. Mungkin dia sendiri nggak paham aturan Atau sengaja mengintimidasi dengan asumsi saya tidak paham aturan. Tentu mempunyai tujuan tertentu.
Kalau kita lihat aturannya, penggunaan SIM di atur di UU no 22 tahun 2009, yaitu : UNDANG-UNDANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN. Pada pasal 80.
Jelas disebutkan :
- SIM A : untuk mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat tidak melebihi 3500 kg (3.5 ton).
- SIM B I : untuk mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat lebih dari 3500 kg (3.5 ton)
- untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;
- SIM C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor.
- SIM D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.
Sayangnya, sebagian besar sopir atau orang yang biasa pegang mobil, pengetahuannya seperti yang dikatakan pak polisi itu. Bahkan ada yang bilang, kalau SIM A tidak boleh digunakan mengendarai mobil bermesin diesel. Nggak tahu dapat darimana itu. Mungkin dulu SIM-nya dapat dari beli kali....heheheh.
Selain masalah SIM, oknum polisi biasa menjebak masyarakat dengan menilang kendaraan yang STNK-nya terlambat bayar. Masa berlaku STNK adalah 5 tahun. Tiap tahunnya dilakukan pembayaran pajak. Kalau masa terlambat membayar pajak tahunan, polisi seringkali menggunakan alasan untuk menilang. Padahal sebenarnya tidak boleh.
Saya sendiri pernah ngalami. Waktu bawa motor, di daerah Krembung. Dicegat oleh serombongan polisi yang sedang mengadakan razia kendaraan roda 2. Begitu tahu kalau STNK telat bayar pajak tahunan, saya diajak menuju ke meja tilang. Saya nggak mau. Alasan saya, kalau saya telat bayar pajak, saya sudah didenda oleh Dispenda. Jadi nggak boleh diberi sanksi lagi. Nggak ada sanksi ganda untuk satu pelanggaran. Si polisi yang masih muda juga ngotot mau ngajak saya ke meja.
Akhirnya rame-rame ini didekati oleh polisi yang lebih senior. Begitu melihat STNK, tidak banyak bicara langsung kasih ke saya dan beri isyarat untuk terus.
Lebih jelasnya mengenai aturan ini, saya kutip penjelasan polisi dari Dirlantas Polda Metro Jaya.
Mudah-mudahan bermanfaat.....
Polisi yaaa gittu tau nya tilang di kiranya setiap orang gak ngerti UU
BalasHapusPolisi yaaa gittu tau nya tilang di kiranya setiap orang gak ngerti UU
BalasHapusDasar polisi nyari setoran bukan nya melayani dgn baik malah menindas masyarakat yg tdk bersalah..
BalasHapusDasar polisi nyari setoran bukan nya melayani dgn baik malah menindas masyarakat yg tdk bersalah..
BalasHapus